INFOSULSEL.COM,MAKASSAR — Polemik susu kental manis (SKM) setahun terakhir menarik perhatian akademisi dan peneliti gizi dari berbagai perguruan tinggi. Isu SKM yang ramai muncul di media juga ditanggapi BPOM. Dari seminar ini terungkap SKM aman dkonsumsi.
Untuk menjawab berbagai informasi yang simpang siur tentang SKM, Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) mengadakan seminar berjudul “Literasi Gizi : Belajar dari Polemik Kasus Susu Kental Manis,” pada Jumat (10/8/2018) di kampus UI.
Dalam seminar ini terungkap konsumsi susu nasional masih tergolong rendah di banding negara-negara Asean lainnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017 menunjukan konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya 16,5 liter/kapita/tahun. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan data USDA Foreign Agricultural Service 2016 (PDF) yang menyebut Malaysia (50,9 liter), Thailand (33,7 liter), dan Filipina (22,1 liter).
Produksi susu Indonesia 920.093,41 ton pada 2017. Angkanya hanya naik 0,81 persen dari tahun sebelumnya yakni 912.735,01 ton. Ini dapat dilihat budaya minum susu segar di Indonesia masih rendah. SKM jenis susu yang digandrungi masyarakat Indonesia.
Guru Besar IPB Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS menyatakan SKM yang terbuat dari susu segar merupakan hasil rekonstitusi susu bubuk dengan penambahan gula, tanpa penambahan bahan lain.
Sementara itu Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan (PKG) UI Ir. Ahmad Syafiq M.Sc., Ph.D menambahkan bahwa SKM memiliki kandungan energi yang diperlukan untuk mendukung pemenuhan gizi masyarakat, termasuk anak-anak.
“Susu kental manis tidak masalah dikonsumsi secara proporsional. Tapi kalau sudah berlebih, apapun juga tidak boleh,” kata ahli gizi ini.
Menurutnya, kandungan lemak dan gula dalam SKM diatur dalam Perka BPOM 21/2016 tentang Kategori Pangan dan Standar Nasional Indonesia Nomor 2971: 2011 tentang susu kental manis. Dalam aturan tersebut diatur kombinasi gula dan lemak yakni 51-56 persen dengan kandungan gula 43-48 persen.
“Namun perlu diingat, susu kental manis tidak cocok untuk bayi (0 – 12 bulan) dan bukan untuk menggantikan ASI. Susu kental manis boleh disajikan sebagai minuman, tetapi tentu untuk balita harus disesuaikan penyajiannya dan bukan sebagai asupan tunggal,” ujar Ahmad.
Pada 2015 Kementerian Kesehatan melakukan survei diet total. Hasilnya terungkap masyarakat Indonesia masih kekurangan pasokan energi. Itu belum termasuk kekurangan asupan gizi lainnya.
Sementara pada survei yang sama tahun sebelumnya juga ditemukan pada anak balita di Indonesia, rata-rata konsumsi SKM tergolong rendah. Hanya 9,4 gram per hari. Ditemukan konsumsi gula, rendah 5 gram perhari. Jauh di bawah anjuran WHO 50 gram perhari.
Anggota Dewan Pengurus Pusat Persatuan Ahli Gizi (PERSAGI) Dr. Marudut Sitompul MPS menjelaskan SKM memiliki dua karakteristik dasar, yaitu kadar lemak susu tidak kurang dari 8 persen dan kadar protein tidak kurang dari 6,5 persen (plain).
Menurut Dr. Marudut SKM tidak bisa disamakan dengan minuman manis atau air tajin yang sering diberikan ke anak. “Gula dalam susu kental manis bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Tidak ada data yang menyebutkan SKM dapat menimbulkan diabetes atau pun obesitas,” sebut Marudut.
Ia menyampaikan bahwa bukti-bukti ilmiah yang ada, salah satunya seperti yang dikemukakan oleh WHO, bahwa kegemukan dan obesitas lebih disebabkan oleh kelebihan total asupan energi dan kurangnya aktivitas fisik.
Sementara itu Ketua PERGIZI Pangan Prof.Dr. Ir. Hardinsyah, MS menjelaskan, SKM sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai jenis makanan dan minuman di Indonesia. Pernyataannya itu didukung survei sosial dan ekonomi nasional pada 2016.
“Hasilnya, 66,1 persen masyarakat di Indonesia membeli SKM. Karena itu tidak heran berita miring soal SKM mendapatkan perhatian besar dan mampu mengubah persepsi masyarakat yang selama ini aman-aman saja mengonsumsi susu kental manis,” katanya.
Ia menyebut persentase anak balita yang mengonsumsi SKM dan jumlah yang dikonsumsi tidak mengkhawatirkan seperti yang diungkap media.
Menyikapi polemik terkait SKM, semua pakar gizi ini sepakat bahwa baik pemerintah dan masyarakat harus terus meningkatkan upaya peningkatan literasi gizi serta terus melaksanakan upaya menyusun kebijakan berbasis evidens.
Dalam seminar ini selain menyampaikan fakta bahwa SKM adalah susu, diperlukan juga adanya komunikasi, informasi, edukasi, dan advokasi (KIEA) gizi agar kehebohan yang tidak perlu mengenai susu kental manis ini tidak berujung pada pengambilan keputusan dan pilihan keliru baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah.
Publik juga diharapkan tidak mudah terpancing oleh infomasi yang simpang siur dan belum terbukti kebenarannya. Serta media diharapkan bisa menjadi jembatan untuk penyampaian informasi yang berdasarkan pada bukti ilmiah dari narasumber terpercaya.
Penulis : Asri Syahril