Kisah Pilu Nenek Hasnah, Puluhan Tahun Hidup Sebatang Kara di Gubuk Reyot di Jantung Kota Makassar

Nenek Hasnah berusia 80 tahun hidup sebatang kara selama puluhan tahun di sebuah gubuk reyot di pinggir Jl Kerung-kerung, Makassar. Meski hidup di tengah jantung kota Makassar namun ia tak pernah tersentuh bantuan dari Pemerintah Kota Makassar dengan APBD Rp 1 triliun lebih. Keseriusan Pemkot Makassar dipertanyakan dalam rangka membantu masyarakat miskin.(FOTO: SRI SYAHRIL)

INFOSULSEL.COM, MAKASSAR— UNTUK berdiri, menopang tubuhnya sulit dilakukan Nenek Hasnah. Perempuan renta berusia 80-an tahun asal Bajoe, Kabupaten Bone ini hidup dalam kemiskinan di tengah jantung kota Makassar.

Sebuah gubuk reyot berwarna kusam menempel di sebuah tembok. Gubuk itu berukuran 1,5 meter X 2 meter. Berdiri di atas selokan di pinggir Jl. Kerung-kerung, Kelurahan Barabarayya Utara, Kecamatan Makassar, kota Makassar.

Bacaan Lainnya

Dari jauh tak nampak ada penghuni di dalamnya. Yang lebih menonjol justeru sebuah kandang ayam nampak dari depan. Di sampibg kandang ada etalaes kecil. Di dalamnya ada beberapa bungkus merek rokok dan tiga bungkus mie instan warna hijau.

Saat INFOSULSEL.COM mendekati gubuk itu,  Jumat (31/1/2020) pagi, ternyata ada seorang nenek tua renta berusia duduk sendiri dengan tubuh gemetar menahan lapar.   Nenek tua ini sudah 20 tahun lebih hidup sebatang kara di gubuk reyot itu. Suaminya, Daeng Minggu sudah lama meninggal.   Ia ditinggal mati sekitar 40-an tahun silam.

Nenek Hasnah sesungguhnya dalam kondisi sakit. Di kaki kirinya ada benjolan sebesar telur. Sejak benjolan itu muncul, kakinya selalu terasa nyeri. Ini yang membuat ia susah untuk berdiri lama.

Sehari-hari Hasnah hidup dari belas kasihan orang lain.Ia bahkan kadang tidak makan seharian. Jangankan untuk makan, untuk tidur pun Nenek Hasnah harus tidur di samping kandang dengan beberapa ekor ayam piaraanya. Tempat tidurnya hanya selembar   papan bekas berukuran 50 Cm X 1,5 meter dan tak beralas kasur. Di gubuknya itu tak ada piring dan sendok. Apalagi kompor.

’Anne, nekkere ngasengi kalengku. Battu subangi tenapi ku ngandre, Nak. Anne ji je’ne kuinung kodong battu subangngi. Ka tena sikali doekku malli kanre. (Badan saya gemetar semua. Dari kemarin saya belum makan Nak. Tidak ada sama sekali uang saya untuk beli makan. Hanya air yang saya minum sejak kemarin,” ujar Nenek Hasnah berbahasa Makassar dengan suara pelan menahan lapar saat berbincang dengan INFOSULSEL.COM.

Di bawa atap seng ada sisa nasi yang tergantung di dalam kantong kresek warna bening. Nasi sisa ini susah basi.  Untuk mengganjal perutnya ia kadang hanya minum air yang disimpan  di kemasan botol mineral bekas. Entah sudah berapa lama botol itu ia pakai. Warnanya sudah berubah, hijau lumut kekuning-kuningan.

Untuk menopang hidunya Nenek Hasnah juga berjualan mie instan dan rokok. Tapi hanya bermodal seadanya. Namun kadang modalnya habis untuk membeli makanan. Mie instan yang dia jual pun kadang tidak laku.  Padahal yang dia jual tidaklah banyak. Kadang hanya lima bungkus. Begitu juga dengan rokok. Tapi karena modalnya habis, yang tersisa hanya pembungkus rokok yang menghiasi etalase jualannya.

Saat INFOSULSEL.COM menyambanginya di etalase kaca berukuran kecil masih ada dua bungkus mie instan. Mie ini rencananya akan dia makan mentah karena ia tak punya kompor untuk memasak.

Gubuk kecil yang sudah reyot yang ditinggali Hasnah menepel di tembok lahan milik Pemkot Makassar. Di atas lahan luas itu berdiri kantor PD Pasar, kantor BPBD, Kantor KONI Makassar dan, Kantor Dinas Kebersihan.

Di sebelah baratnya berdiri kokoh kantor Lurah Mardekayya Utara. Sekitar 10 meter di seberang jalan poros Kerung-kerung, ada Kantor Mapolsek Makassar dan sebuah warung kopi. Di warkop ini setiap hari banyak pegawai kelurahan yang duduk berjam-jam menyeruput kopi.

Sudah bertahun-tahun ia tinggal seorang diri di gubuk beralaskan tanah itu. Itupun, bukan miliknya. Ia hanya numpang tinggal.

‘Rumahnya’  berdinding tripleks  bekas yang sudah tipis. Sebagian sudah terkelupas. Ukurannya 1,5 X 2 meter menempel di antara dinding tembok.  Kain  putih yang sudah berwarna kusam menjadi pintu saat ia istrahat pada malam hari. Beberapa spanduk bekas juga menghiasi dinding gubuk itu. Entah sudah berapa lama tidak dicuci. Kain spanduk ini ia pakai untuk menyelimuti tubuhnya saat tidur di malam hari.

Kain kusam menjadi pengganti pintu digantung di antara bambu yang melintang di bawah selembar seng bolong-bolong sebagai atap. Seng bekas itu sedikit melindunginya dari teriknya sinar matahari. Jika hujan turun atap seng itu tak mampu melindungi  Nenek Hasnah sepenuhnya. Sebab air hujan menetes di antara lubang-lubang seng atap.

Tak ada keramik mengkilap sebagai alasnya. Yang ada hanyalah tanah bercampur kotoran ayam.  Di sebelah selatan gubuk itu ribuan jentik tumbuh subur di antara tembok selokan.

Di bawah seng ada sebuah lampu penerangan. Hasnah membayar listrik Rp 30 ribu setiap bulan dari tetangganya. Kadang ia harus menunggak karena tak punya uang.

Tak ada suami atau anak untuk menemani hidupnya. Selama ini, Hasnah hidup sebatang kara. Suaminya, Daeng Minggu sudah meninggal sejak 40-an tahun silam.

“Suami saya sudah meninggal 40 tahun lalu. Saya juga tidak punya anak dan  keluarga,” akunya.

Sejak menikah dengan Dg Minggu, Hasnah memang tidak dikaruniai anak. Sepeninggal suaminya, Hasnah diusir dari rumah suaminya oleh mertuanya.

Sebelum suaminya meninggal dunia ia tinggal di sebuah rumah di Maccini. Dulunya Hansah dan suaminya berjualan di Pasar Kerung-kerung. Dari hasil berjualan ia hidup bahagia di sebuah rumah sederhana di Maccini.  Ia sempat memiliki sejumlah harta. Termasuk kendaraan dan perhiasan emas.  Namun sepeninggal suaminya ia diusir dari rumahnya oleh mertuanya.

‘’Sekarang suamimu sudah tidak ada. Mulai sekarang kamu pergi dari rumah ini,’’ ucap Nenek Hasnah menirukan ucapan mertuanya itu.

Sejak saat itu Hasnah hidup sendiri di sebuah kamar kos-kosan di sekitar Karuwisi. Ia teap melanjutkan jualan demi menghidupi dirinya. Namun modalnya habis. Untuk bayar kos-kosan pun ia sudah tidak mampu. Sejak akhir tahun 90-an ia tinggal di gubuk reyot di atas selokan di pinggir jalan Kerung-kerung.

Di gubuk itu tidak ada tempat buang air, besar dan kecil. Begitu pula jika ia ingin membersihkan badannya. Di sudut gubuk itu hanya ada sebuah ember cat bekas untuk menampung air hujan. Beberapa lembar baju kotor tergantung di antara kandang ayam yang menempel dengan tempat tidurnya.

Selama ini Nenek Hasnah tidak pernah mendapat bantuan apa-apa dari pemerintah. Padahal dia mengaku punya Kartu Keluarga dan KTP.  Tapi  semua sudah hilang.

Itulah yang dijadikan alasan mengapa pihak Kelurahan Barabarayya Utara tidak mendaftarkannya sebagai penerima bantuan rakyat miskin.

‘’KK dan KTP saya pernah ada. Tapi saya tidak tahu dimana saya simpan. Mungkin sudah hilang,” kata Hasnah.

Benjolan sebesar telur di kakinya yang selama ini dirasa sakit belum diperiksakan ke Puskesmas karena tak punya uang untuk ongkos transpor.

Kini Hasnah hanya bisa pasrah meratapi hidupnya. Entah sampai kapan perempuan tua ini mengisi sisa hidupnya di gubuk kecil yang tidak layak tinggal itu. Berharap dari pemerintah pun sepertinya jauh panggang dari api.

Kehidupan Hasnah memang sungguh ironis. Sebab anggaran yang dikelola oleh Dinas Sosial Kota Makassar, cukup besar. Nilainya milyaran rupiah dari Rp 1,4 APBD Kota Makassar tahun 2020. Namun menyentuh seorang Nenek Hasnah pun Pemkot Makassar tak mampu melakukannya.

Entah tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Yang pasti gubuk yang ditinggali Nenek Hasnah tidak jauh dari kantor pemerintahan Kota Makassar, baik tingkat kelurahan maupun Perusahaan Daerah (Perusda) milik Pemkot Makassar. Di depannya ada kantor Polsek Makassar.

Penulis : Sri Syahril

Pos terkait