INFOSULSEL.COM, MAKASSAR -Pilkada Serentak 2020 ditunda akibat pandemi Covid-19. Tahun 2020 ini seharusnya ada 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang akan serentak menggelar Pilkada. Awalnya, hanya diikuti 269 daerah. Namun menjadi 270 daerah karena Pilkada Kota Makassar diulang pelaksanaannya. Itu karena pada Pilkada 2018 Pilkada Makassar dimenangkan oleh Kolom Kosong.
Penundaan itu diputuskan melalui Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Senin 30 Maret 2020 lalu.
Merespons hal itu, sejumlah pengamat politik menilai sangat tepat. Namun ini bakal berdampak terhadap beralihnya dukungan partai politik kepada bakal calon (Balon).
‘’Politik itu abu-abu. Tidak ada komitmen abadi dalam politik. Yang abadi adalah kepentingan. Penundaan ini bisa saja akan terjadi perubahan dukungan dari partai politik kepada bakal calon,” tegas Nurmal Idrus, Rabu (8/4/2020).
Menurut Nurmal adagium itu membuat surat dukungan yang diberikan parpol, besar kemungkinan bisa berubah. Apalagi jika kemudian ada perubahan situasi politik nasional.
Menanggapi soal wacana menunda Pilkada Makassar ke tahun 2024, mantan ketua KPU kota Makassar ini tidak sepakat. Ia menegaskan akan sangat berisiko dan tidak strategis.
“Menunda ke 2021 adalah pilihan terbaik. Kecuali wabah ini tak bisa diatasi sampai 2021 maka bisa saja Pilkada ditunda sampai tahun 2024,” jelas Direktur Nurani Strategic Consultant itu.
Namun menurut Nurmal, untuk saat ini ia lebih condong penundaan tetap tahun 2021. Sebab kepala daerah yang dipimpin Penjabat (Pj) sangat tidak ideal bagi demokrasi di Indonesia.
Sementara itu Sosiolog dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Sawedi Muhammad mengatakan, penundaan Pilkada ke 2021 akan membuka ruang bagi para bakal calon lainnya untuk ikut berkompetisi. Alasannya, para calon akan membuat strategi pemenangan dengan menyesuaikan kondisi dan situasi lapangan.
“Isu dan prioritas program bisa saja berubah seiring perubahan lanskap sosial-politik dan kultural kemasyarakat di tengah pandemi corona ini,” jelas Sawedi.
Namun pandangan lain dikemukakan Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Allan Fatchan Gani Wardhana. Menurutnya dalam lintasan sejarah, penyelenggaraan pilkada pernah ditunda di beberapa wilayah. Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH-UII) ini mencontohkan pilkada 11 kabupaten dan 3 kota di Aceh pada 2005 yang ditunda karena Aceh saat itu sedang fokus pada proses penanggulangan pascabencana gempa dan tsunami pada 2004. Kemudian pilkada Kota Yogyakarta 2006 yang ditunda karena terjadi gempa bumi 1,5 bulan sebelum pilkada.
‘’Kini dalam kondisi pandemi Covid-19, setidaknya opsi menunda pilkada adalah pilihan yang rasional. Yang justru kemudian menjadi perdebatan ialah sampai kapan pilkada ditunda?’’ tanya Fatchan Gani.
Menurutnya, ada 3 opsi yang berkembang berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan suara. Opsi pertama dilakukan 9 Desember 2020 (ditunda 3 bulan), opsi kedua dilakukan 17 Maret 2021 atau ditunda 6 bulan, dan opsi ketiga dilakukan 29 September 2021 (ditunda setahun).
Dalam perkembangan, opsi ketiga cenderung lebih dipilih karena relatif waktu persiapannya panjang serta belum terkonfirmasi secara pasti sampai kapan pandemi ini akan berakhir.
Namun menurut Kepala Bidang Hukum HICON Law & Policy Strategies ini, tiga opsi tersebut belum final. Bahkan masih memungkinkan adanya opsi baru.
‘’Jika pilihannya hanya tiga opsi tersebut, maka relevan untuk memunculkan opsi baru yaitu menunda Pilkada 2020 ke tahun 2024 dengan beberapa pertimbangan,” sebut Fatchan Gani dalam artikelnya di detik.com berjudul ‘Opsi Penundaan Pilkada’, Senin (6/4/2020).
Pertimbangannya yang pertama para calon kepala daerah baik yang baru pertama maju maupun incumbent, baik yang berasal dari jalur partai politik maupun jalur perseorangan akan berhitung ongkos politik serta program kerja.
‘’Jika pilkada dilaksanakan pada 2021, berarti kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih hanya akan menjabat kurang lebih sekitar 2,5 tahun karena pada 2024 akan digelar Pilkada Serentak berbarengan dengan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif,” jelas Fatchan Gani.
‘’Dengan biaya politik yang mahal, calon kepala daerah bisa jadi akan menganggap tidak sepadan dengan masa jabatan yang singkat. Selain itu kepala daerah dan wakil kepala daerah juga tidak dapat optimal menjalankan program kerjanya dengan masa jabatan yang singkat,’’ lanjut dia.
Kedua, merujuk Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada mengatur bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
‘’Dengan aturan tersebut seharusnya kepala dan wakil kepala daerah terpilih (asal tidak terjerat kasus hukum) mendapatkan haknya selama lima tahun. Selain itu, juga akan berdampak hukum lain terutama bagi penghitungan masa jabatan,” ujarnya.
Jika membaca politik hukum UU Pilkada, satu periode jabatan itu terhitung 5 tahun. Artinya kalau hanya menjabat 2,5 tahun “dapat” dianggap belum satu periode.
Ketiga, jika pilkada tetap dilaksanakan pada 2021, maka hanya berselang 3 tahun setelahnya yaitu pada 2024 akan digelar pilkada lagi. Itu berarti dalam jangka waktu 3 tahun akan ada dua kali penyelenggaraan pilkada.
‘’Tentu saja hal ini akan memboroskan anggaran. Ini belum termasuk biaya sosial yang harus ditanggung seperti adanya gesekan pendukung antar calon, potensi konflik horizontal, serta banyaknya gugatan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan tiga pertimbangan di atas, maka pemerintah harus segera mengeluarkan Perppu yang menunda pelaksanaan Pilkada 2020 dan menyelenggarakannya pada 2024. Terlebih kita semua telah menyepakati bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) di seluruh Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
Adapun untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2020, maka dapat diangkat Penjabat Kepala Daerah (Pelaksana Tugas) sampai dengan terpilihnya Kepala dan Wakil Kepala Daerah melalui Pemilihan Serentak Nasional pada 2024.
Terkait kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Penjabat Kepala Daerah minim kewenangan, menurut Fatchan Gani hal ini sudah terbantahkan secara hukum. Dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 telah diatur bahwa Pelaksana Tugas Kepala Daerah dapat menetapkan APBD, menetapkan kebijakan, menjaga netralitas ASN, serta mengangkat atau memberhentikan pejabat sesuai peraturan perundang-undangan. Di samping itu, Pelaksana Tugas yang nantinya dipilih haruslah yang memiliki kompetensi dan integritas.(andi/riel)