INFOSULSEL.COM, MAKASSAR – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar menyoroti praktik penambangan pasir laut untuk kepentingan proyek reklamasi Makassar New Port (MNP) yang dilakukan oleh kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis di perairan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan.
Anggota komisi B DPRD Makassar fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Hasanuddin Leo meminta agar pihak berwenang mengusut tuntas polimik yang terjadi di perairan Sangkarrang yang dinilai merusak kawasan perairan Makassar.
Terlebih pada penangkapan nelayan dan penenggelaman kapal nelayan, kata dia, seharusnya pihak yang ditangkap dan ditenggelamkan kapalnya adalah nelayan ilegal atau nelayan asing yang memasuki kawasan perairan Indonesia yang tidak memiliki izin resmi.
“Ini kan, sangat keterlaluan. Harus diusut tuntas. Kenapa kok, institusi negara menangkap nelayan sendiri, menenggelamkan dan merusak kapalnya. Ini kan jadi pertanyaan, jangan sampai ada sesuatu di balik semua ini,” kata Hasanuddin Leo di Kantor DPRD Makassar, Senin (24/8/2020).
Lanjut Hasanuddin, legislator Makassar tiga periode itu meminta agar pemerintah bisa memberikan perhatian kepada para nelayan, bukan malah dideskriminasi. Terlebih lagi di masa pandemi covid-19 ini banyak faktor yang membuat masyarakat memperoleh pendapatan minim.
Lebih jauh, operasi tambang pasir tersebut, kata dia juga perlu dievaluasi, sebab banyak masyarakat yang melakukan penolakan. Hal ini diindikasikan analisi dampak lingkungan (AMDAL) perusahaan belum disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat.
“Sebelum operasi harusnya sudah ada AMDAL-nya. Itu harus disampaikan ke masyarakat terkait dampak dan sebagainya. Ini kan masyarakat menolak, berarti dampaknya sangat buruk,” jelasnya.
Sebelumnya, pada hari Minggu (23/8/2020) kemarin, tiga nelayan Kodingareng ditangkap dan dibawa ke kantor mereka. Hal ini berawal dari kehadiran kapal penambang pasir pada saat nelayan sedang melaut.
Menurut keterangan Wahana Lingkungan (Walhi) Sulsel, Jasmin, sekitar pukul 10.00 WITA Kapal penambang pasir laut milik PT Boskalis kembali melakukan aktivitasnya di lokasi tangkap nelayan.
Di sekitar lokasi sudah banyak nelayan yang melaut. Melihat Kapal Queen of Nederlands, sedang beroperasi semakin mendekat, mereka tetap berada di posisi dan mencoba saling mendekat satu sama lain. Mereka berada tepat di hadapan kapal pengeruk Pasir laut tersebut.
Sekitar pukul 14.00 WITA, sekitar puluhan anggota Dit Polairud Polda Sulsel dengan menggunakan 1 kapal perang dan 4 sekoci menghampiri nelayan.
“Sempat adu mulut antara pihak polairud dengan para nelayan. Salah satu Nelayan didatangi dan mau diborgol tapi menolak. Mereka diancam lepa-lepa (kapal kecil) nelayan mau ditenggelamkan. Akhirnya nelayan melompat karena kapalnya ditenggelamkan,” jelas Jasmin.
Tanpa alasan jelas, Polairud ingin membawa para nelayan. Namun nelayan menolak, hingga terus terjadi ketegangan. Sempat beberapa kali terdengar suara tembakan.
Dari puluhan nelayan tersebut, tiga orang dibawa anggota Dit Polairud Polda Sulsel ke Kantornya di Makassar. Sementara 2 kapal nelayan ditenggelamkan dan 1 nelayan kapal dirusak.
Menanggapi hal ini, Hasanuddin Leo menilai tindakan Polairud sudah keterlaluan. Hal ini memicu munculnya indikasi dan dugaan ada hal yang tidak beres di balik penangkapan nelayan ini.
Pembangunan MNP yang digawangi oleh Pelindo memiliki luas 1.428 hektare yang akan direncanakan selesai pada tahun 2025. PT Royal Boskalis adalah kontraktor yang memenangkan tender penyediaan pasir untuk kepentingan reklamasi yang menambang di wilayah konsesi sejumlah perusahaan lokal di Sulawesi Selatan, di antara perusahaan itu adalah PT Benteng Lautan Indonesia.
Hingga kini, Nelayan dan ASP telah melaporkan terkait Pelanggaran Tambang Pasir dan Pembangunan Reklamasi MNP di Komnas HAM RI
Pertemuan Komnas HAM RI dengan Pelapor dan pendamping kasus PT. Royal Boskalis yang di hadiri beberapa Nelayan Kodingareng dan Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) berlangsung di Sekretariat Walhi Sulsel, 17 Agustus 2020, pukul 14.00 Wita lalu.
Lembaga Badan Hukum (LBH) Makassar, Edi Kurniawan selaku pendamping hukum nelayan, menyampaikan kasus penangkapan nelayan oleh Polairud bukan penegakan hukum, tapi murni kriminalisasi. Kita bisa lihat dari rangkaian peristiwanya sebelumnya. Untuk kasus pak Manre misalkan, siapa yang memberikan uang, dan siapa yang merobek uang, pak manre merobek ampop di kenakan pasal tentang merendahkan simbol Negara. Belum lagi proses pemanggilan yang terlihat mendesak dengan tidak mempertimbangkan hak-hak terlapor.
“Substansi awalnya sebenarnya masyarakat hanya menolak penambangan pasir laut karna lokasi penambangan berada di wilayah tangkapnya. Adapun reaksi nelayan itu karna mengganggu pencarian mata pencahariannya. Nelayan juga dalam melakukan aksi penokan kapal tidak melakukan tindakan berlebihan selain hanya mengusir kapal agar tidak mengganggu aktivitas nelayan mencari ikan. Karna ketika kapal itu menambang maka Nelayan terganggu dan tidak mendapatkan ikan karna laut jadi keruh,” ucapnya.
Pak Suardi nelayan kodingareng menyampaikan masyarakat pulau kodingareng itu rata-rata nelayan, tapi dengan adanya tambang pasir, jadi tidak lagi berpenghasilan.
“Kami bingung kasih makan apa lagi keluaga kami, karna hanya satu-satunya pekerjaan saya disitu. Dulu kami berpenghasilan, tapi sekarang tidak ada lagi”. Gubernur juga tidak pernah ketemu kami, tidak pernah kasih tau kami akan melakukan tambang di lokasi kami cari ikan. Kami tidak tau lagi mengadu kesiapa,” lanjutnya, sambil meneteskan air mata.
Sementara ASP, setelah menyampaikan secara ringkas kasus penambangan, kemudian menyerahkan berkas tentang catatan kasus seluruh pelanggaran PT. Boskalis dan MNP
Disaat bersamaan, Gatot Ristanto Kepala Biro Dukungan Penegakan Ham, Komnas HAM mengatakan, kalau saya bisa buktikan bahwa proyek itu tidak memenuhi konsultasi publik, maka saya akan panggil Kementrian Lingkungan Hidup dan Kelautan (KLHK), saya akan tunjukan ke KLHK. (andi)