INFOSULSEL.COM, MAKASSAR —- Tanggal 10 November diperingati oleh rakyat Indonesia sebagai Hari Pahlawan. Bicara soal Hari Pahlawan, banyak dari kita yang pasti teringat dengan kisah perjuangan para pahlawan di makasar.
Di Makassar ada beberapa spot bersejarah yang cocok dikunjungi di Hari Pahlawan. Begitu pula halnya dengan kota-kota besar lainnya yang erat dengan sejarah kemerdekaan Indonesia. Salah satunya Monumen Korban 40 ribu jiwa
Sesuai sejarah tahun 1946-1947 merupakan lembaran kelam bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Konon 40.000 orang dibantai dalam sebuah operasi penumpasan pemberontak oleh pasukan khusus Belanda yang dipimpin oleh raymond Pierre Paul Westerling.
Monumen Korban 40.000 Jiwa berdiri sebagai pengingat peristiwa itu. Monumen ini berlokasi di Jl Langgau, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Letaknya sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar (Lapangan Karebosi).
Melihat Monumen Korban 40.000 Jiwa, ada perasaan yang meremang. Relief (gambar timbul) pada monumen itu mengingatkan betapa rakyat, yang hanya mendengar kabar bahwa Indonesia telah merdeka, dikumpulkan di tanah terbuka. Lalu diberondong dengan senapan otomatis. Mayat mereka dikubur di satu liang.
Monumen ini berdiri di wilayah yang asri dan rapi. Tidak banyak kendaraan lalu lalang di sekitarnya. Menempati lahan di sudut jalan dengan luas sekitar 250 meter persegi. Terdiri dari beberapa bangunan, yaitu pendopo dan monumen disertai relief pada dindingnya. Di tempat inilah salah satu aksi pasukan Westerling dilakukan.
Di salah satu sisi bangunan, ada sebuah patung dengan tinggi sekitar empat meter. Menggambarkan seorang korban selamat tetapi dengan kaki buntung. Salah satu lengannya menggunakan penyangga.
Di tempat itu, dulu merupakan tempat dibuangnya puluhan korban. Korban-korban lain dikuburkan di tempat-tempat mereka dibantai. Menyebar di beberapa daerah seperti di Kabupaten Barru, Sidrap, Enrekang, dan Kota Parepare. Lubang di monumen itu sekarang sudah tidak terlihat. Di lokasi lubang kini berdiri tembok yang melingkari monumen.
Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan selalu memperingati peristiwa pembantaian itu setiap 11 Desember. Di Kota Parepare juga didirikan monumen serupa.
Saat para pemimpin kemerdekaan Indonesia sedang berunding dengan Belanda di Linggarjati (1946), perlawanan rakyat terus berkecamuk di luar Jawa. Termasuk di Sulawesi Selatan. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda.
Pada 9 November 1946, markas besar KNIL di Batavia (Jakarta) memutuskan untuk mengirim pasukan khusus dari Depot Speciale Troepen (DST) dalam operasi counter insurgency (penumpasan pemberontakan). Pasukan dipimpin Kapten Raymond Westerling, seorang perwira Belanda berdarah Turki. Mereka tiba di Makassar pada 5 Desember 1946.
Aksi pertama operasi pasukan khusus DST dimulai pada malam 11 Desember 1946. Sasarannya adalah wilayah Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar. Wilayah itu dikepung. Rumah-rumah penduduk digeledah, dan seluruh rakyat digiring ke lahan terbuka.
Sembilan orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Westerling berbicara langsung kepada rakyat, diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Ia menyodorkan daftar nama “pemberontak” kepada para kepala desa. Mereka dipaksa mengidentifikasi siapa dari rakyatnya yang terdapat dalam daftar itu. Di Batua, 35 orang yang dituduh pemberontak langsung dieksekusi di tempat.
Dengan pola yang sama, penyisiran terus dilakukan. Di wilayah Tanjung Bunga, 81 orang tewas dalam operasi malam 12 Desember. Di wilayah Kalukuang, 23 orang ditembak mati pada operasi 14 Desember. Di wilayah Jongaya, 33 orang dieksekusi di tempat pada operasi 16 Desember.
Setelah merasa bisa membersihkan Makassar, operasi dilanjutkan di daerah di luar Makassar. Polombangkeng diserbu pasukan khusus. Sebanyak 330 orang rakyat tewas dibunuh. Pada 26 Desember, Pasukan Westerling mulai menyerang Gowa. Korban tewas di Gowa berjumlah 257 orang. Penyisiran terus dilakukan hingga Kabupaten Barru, Parepare, Pinrang, Sidrap, dan Enrekang.
Pembantaian terbesar terjadi di Galung Lombok, Barru, pada 2 Februari 1947. Beberapa tokoh Pergerakan Kemerdekaan Indonesia direbahkan, ditodong bayonet, dan ditembak mati. Menyusul rakyat yang dikumpulkan di tanah lapang diberondong peluru yang dimuntahkan stangun. Tak ada laporan resmi jumlah korban. Tapi Pemerintah Republik Indonesia (RI) menyatakan ribuan orang tewas di tempat ini.
Pasukan khusus itu ditarik ke Batavia pada Maret 1947. Westerling disambut dengan gegap gempita. Media militer Belanda menyebut tahun itu sebagai tahun kemenangan gemilang atas pemberontakan kaum republik. “Si Turki Telah Kembali,” demikian sebut mereka.
Di tahun yang sama, delegasi RI berpidato di hadapan Dewan Keamanan PBB. Korban pembantaian itu dilaporkan mencapai 40.000 jiwa. Tapi Pemerintah Belanda menyangkal. Menurut mereka, rakyat yang terbunuh hanya 3.000 orang. Westerling sendiri mengaku hanya membunuh 600 orang.
(dbs/riel)